TERAPI MENUNGGU MATI
TERAPI
MENUNGGU MATI
Hari ini adalah hari
lain lagi yang ku habiskan dengan menunggu pasien asma di poliklinik paru.
Bosan, lelah, dan syukur menjadi satu ku rasakan. Bosan karena setiap hari
harus mendekam di poliklinik dengan status tak jelas. Lelah harus bicara
panjang lebar tiap mewawancarai pasien. Namun ada rasa bersyukur karena dapat
kesempatan belajar secara tidak langsung disini. Melihat bagaimana runtutan
kerja dokter muda yang kebagian jaga poli paru mulai dari memanggil pasien,
anamnesis, mengukur berat badan dan tekanan darah, hingga mendampingi pasien
saat diperiksa dokter spesialis. Kadang aku pun ikut merasakan ketegangan
kakak-kakak senior ketika di”nasehati” sang dokter, kebingungan saat ditanya
keadaan pasien yang ada di bangsal dengan jumlah yang tak bisa dibilang
sedikit, dan ketakutan menghadapi ujian. Sungguh rumit rupanya hidup dokter
muda. Wah, aku tak yakin siap menjalani takdir seperti senior-seniorku ini.
Sempat terpikir seandainya aku dulu mengambil jurusan lain mungkin saat teman-temanku
tengah menjalani nasib sebagai dokter muda, aku sedang duduk mendengarkan
materi trainning di belahan Indonesia
bahkan belahan dunia yang lain. Yah, katakanlah aku ke-PD-an tapi aku yakin
bisa jadi karyawan cukup berprestasi jika menjadi orang kantoran dengan
kemampuanku yang ada.
Satu hal lagi yang ku
syukuri atas keadaanku sebagai peneliti ini. Aku mendapatkan kuliah tentang
hidup yang sebenarnya dari pasien-pasien yang aku temui. Tentang bakti pada
orang tua, cinta tak bersyarat pada suami yang positif TBC, ketegaran anak muda
menghadapi kanker paru, bahkan kesetian pacar menemani sang pujaan hati yang
didiagnosa suspect massa di paru. Tak
jarang aku pun harus berperan aktif “menghibur” pasien-pasien ini yang mengira
aku dokter karena jas lab yang ku pakai, mengira aku perawat karena bertengger
di meja depan, atau staff administrasi karena sibuk membantu ibu Meta dan Sena
meng-entry diagnosa pasien ke
komputer poli. Lucu sekali rasanya saat merenungkan sikap sok tahuku
menjelaskan tentang penyakit yang belum sempat didengar pasien dari dokter
langsung atau sikap sok bijaksana dalam memberi motivasi berobat terutama pada
pasien rujukan dari poli geriatri padahal aku sendiri sering bertingkah “gila”
jika sedang stress. Itulah dokter dan calon dokter, harus pandai bersandiwara.
Aku jadi ingat salah satu kalimat dalam novel Nothing Forever karya Sidney Shaldon. Salah satu prinsip yang dipengang oleh tokoh Pagie Taylor selaku
residen bedah “Bersikaplah tenang walau
kau gugup. Jangan pernah tampakkan wajah tegang karena kau akan membuat pasien
berpikir mereka akan mati karena penyakit yang tak kau beritahu pada mereka.” Benar-benar
kalimat yang menarik.
Bicara tentang kematian
dan bakti pada orang tua, aku mendapat pelajaran berharga hari ini. Seorang
pria lanjut usia keluar dari bilik periksa bersama sepasang pria dan wanita
yang jika ku tebak adalah anak dan menantunya. Si kakek tampak lemah di atas
kursi roda yang didorong pria yang ku pikir anaknya tadi. Baju koko berwarna cream dan celana panjang hitam serta tak
lupa kopiah putih yang menutupi rambut putih meratanya membuat ia tampak
seperti pak haji yang biasa lewat depan kos hendak ke masjid. Pria yang
mendorongnya berkulit legam dengan kaos dan celana kain dan topi yang warnanya
sudah agak kusam. Sementara wanita di sebelahnya mengenakan setelan baju muslim
dan kerudung yang menurut mataku tidak matching
warnanya. Riasannya pun hampir tak ketara. Si wanita tampak membawa kresek
putih yang di dalamnya tampak amplop cokelat besar yang kukenali sebagi hasil
foto rontgen. Kalau aku boleh menebak mereka sepertinya berasal dari keluarga
dengan ekonomi menengah-kebawah. Sejak aku jadi mahasiswi kedokteran sepertinya
secara tidak sadar instingku sedikit terasah untuk menilai orang.
“Bu, ini diandak lagi disini kah? (Bu, ini ditaruh disini lagikah?)”
si pria pengantar kakek bertanya pada bu Sena dengan bahasa banjarnya.
“Inggih, pak ai, dicap dulu lah. (Iya, pak, dicap dulu)” sahut bu
Sena sembari mengambil status pasien dan lembaran jaminan serta resep yang
beliau terima.
Karena penasaran aku
pun mendekat ke bu Sena setelah sebelumnya melempar senyum manis kepada si
kakek yang membalasnya dengan senyuman ikhlas. Kira-kira apa diagnosa untuk
kakek ini? Apa COPD (Chronic Obstruction
Pulmonary Disease) ? atau jangan-jangan TBC ? Ku ambil status beliau,
ternyata si kakek sudah berumur 70 tahun, lumayan lama ya hidup beliau. Mataku
tertuju pada cap yang menunjukkan tanggal hari ini untuk melihat diagnosa yang
baru diberikan dokter. Mataku terbelalak, aku langsung menengok ke si kakek
yang tampak tenang di kursi rodanya. Ca Paru stadium IV, itulah yang tertera di
statusnya. Hanya satu yang terlintas di benakku, sebentar lagi, sebentar lagi
beliau wafat.
Aku lantas mencuri
pandang pada resep yang sedang dibubuhi cap poli oleh ibu Sena. Hanya ada dua
macam obat yang tertulis. Pertama obat penahan sakit dan yang kedua adalah
vitamin disertai denga keterangan dalam kurung (terapi paliatif). Terapi paliatif, terapi menunggu mati. Itulah
definisi yang ku pahami dari istilah ini. Terapi yang diberikan pada pasien
yang tak punya harapan untuk sembuh secara medis. Tujuannya untuk mengurangi
rasa sakit sebelum ajal benar-benar menjemput. Aku ingat kata-kata seorang
dosen yang merupakan dokter spesialis penyakit dalam, “Jika kita tidak bisa
menyembuhkan penyakit pasien dan membuatnya bertahan hidup, setidaknya kita
bisa mengusahakan untuk membuatnya meninggal dengan tersenyum, tanpa rasa
sakit.”
“Ini resepnya kawa diambil di apotek parak poli bedah, pak. Nah, nang
ini pian legalisir lagi di JAMKESMAS. Ini jawaban rujukan pian. (Ini resepnya
bisa diambil di apotek dekat poli bedah, pak. Nah, yang ini anda legalisir lagi
di JAMKESMAS. Ini jawaban rujukan anda).” Bu Sena lantas menyerahkan resep, jawaban
rujukan, dan jaminan yang harus dilegalisir. Si bapak menerima dengan senyum tipis
di bibirnya.
“Makasih lah, bu. (makasih ya, bu)” sahutnya singkat.
“Inggih, sama-sama (iya, sama-sama).”
Si bapak kembali
memegang gagang pendorong kursi roda kakek.
“Meambil obat kah kita? (Mau mengambil obat kah kita?)” si kakek
tiba-tiba bertanya.
“Inggih bah, ai. Meambil di apotek. (Iya, pak. Mengambilnya di
apotek).” Kali ini si ibu yang menjawab.
“Oh, Alhamdullilah kadak sesak lagi abah. Mudahan ampih nah, garing.
(Oh, Alhamdullilah bapak jadi nggak sesak lagi. Mudah-mudahan berhenti
sakitnya).” Sahut si kakek. Ingin rasanya aku mengatakan pada kakek bahwa
penyakitnya tak akan sembuh. Tapi yang ada, aku bisa-bisa diomeli oleh keluarga
pasien. Berat ternyata menjadi orang yang tahu tapi tak kuasa mengatakan yang
sejujurnya.
“Amin, mudahan lakas sembuh lah, kai. (Amin, semoga cepat sembuh ya,
kek).” Entah karena iba atau refleks saja aku langsung menjawab doa si kakek.
Aduh, kek, andai saja kakek tahu.
“Makasih lah, ding, sudah di doakan. (Makasih, ya, dek, sudah di
doakan).” Kakek tadi kembali tersenyum kepadaku. “Permisi lah, makasih banyak (Permisi, ya, terima kasih banyak).”
Kakek, si bapak, dan si
ibu tersenyum padaku dan bu Sena. Mereka lantas keluar dari poli. Aku hanya
bisa menghela napas memikirkan kakek yang percaya bahwa ia akan mendapatkan obat
untuk sembuh walaupun sebenarnya itu hanya obat untuk menanti, menanti mati.
“Pasien ASKES kah, bu?”
aku bertanya pada bu Sena.
“Lain, pasien
JAMKESMAS.” bu Sena kembali melanjutkan
aktivitasnya yang tadi tertunda, mengisi lembaran-lembaran yang tampaknya
laporan poli.
“Kasian, ya, Ra.”
kataku pada Athira, rekan senasibku. Dia dan aku punya kerjaan yang sama
beberapa bulan ini yaitu menanti pasien untuk jadi subjek penelitian. Bedanya
aku mengharapkan pasien asma sementara dia berdoa akan datangnya pasien COPD.
Malang nian nasib dua mahasiswa asal Tanah Bumbu ini.
“Kenapa, memangnya?”
Athira memang sedari tadi sibuk membaca proposal KTI 1 miliknya. Berusaha
mendapatkan ilham tentang banyaknya pasien yang divonis tidak bisa jadi subjek
penelitian oleh pembimbing kami.
“Kakek tadi tuh yang
didorong kursi roda. Dia kena Ca paru stadium IV. Mana kayanya kurang mampu.”
“Tahu darimana dia
nggak mampu?” tanya Athira.
“Dia berobat pakai
JAMKESMAS. Biasanya kan yang jadi peserta JAMKESMAS itu nggak mampu. Heh, malang
bener nasibnya. Sudah tua, penyakitnya parah pula.”
“Yah, mau gimana lagi.
Takdir Illahi sudah ditentukan.”
Percakapan kami
terhenti disini. Kembali mengerjakan tugas masing-masing. Membantu bu Sena dan
Meta memasukkan data pasien sambil sesekali bercanda. Mengamati orang yang lalu
lalang yang tak jarang diselingi sebuah bed
yang didorong dari IGD dengan pasien beragam bentuk di atasnya. Rumah
sakit, disinilah tempat belajar untuk memahami hidup dan mati.
Malam ini sambil
mendengarkan lagu dari laptop kesayangan dan membaca novel, aku kembali
memikirkan kakek tadi. Bagaimana ekspresi leganya saat berpikir bahwa
penyakitnya bisa diobati. Aku membayangkan perasaan anak-anaknya yang setia
mengantarnya berobat. Kemungkinan besar mereka tidak menjelaskan penyakit
sebenarnya pada si kakek melihat tanggapan si kakek tadi. Aku juga membayangkan
bagaimana perasaan dokter ketika menjelaskan vonis itu dan mengabarkan deadline hidup si kakek. Memang
hidup-mati, jodoh, dan rezeki Tuhan lah yang mengatur. Tapi sebagai calon
dokter, sedikit banyak aku memahami konsep kanker. Stadium IV menunjukkan
adanya penyebaran atau metastasis sel kanker ke organ lain. Pada tahap ini
kesempatan bertahan hidup pasien sangat kecil. Tingkat keberhasilan bertahan
untuk 5 tahun ke depan sangat rendah sekalipun pasien mendapat kemoterapi. Jika
di luar negeri mungkin presentasinya akan lebih tinggi. Tapi di negeri ku ini,
jangan terlalu berharap.
Mati, sesuatu yang amat
ditakuti oleh banyak orang. Begitu resah rasanya memikirkan ajal yang bisa
datang kapan saja. Banyak pertanyaan terlontar di benak tiap orang saat
memikirkan mati. Apakah aku siap? Apakah amalku cukup? Apakah yang akan terjadi
pada anak-istriku? Siapa yang nanti merawat suami atau istriku? Apakah sempat
aku melunasi hutang dan cicilanku? Apakah aku sempat menjadi sarjana? Ah, jika
ada yang rajin menghitung mungkin pertanyaan sekitar mati bisa menembus 3 digit
angka.
Jika kita menjadi
ketakutan atas apa yang tidak pasti datangnya apakah kita bisa jadi lebih
tenang jika mengetahui jadwalnya? Mungkinkah almarhumah eyang putriku akan
menelpon ayah dan meminta kami semua menemuinya di Banyuwangi jika ia tahu ia
akan wafat setelah pulang dari syukuran tetangga akibat krisis hipertensi yang
menyebabkan perdarahan di otak? Atau mungkinkah eyang kakungku akan meminta
cucunya yang satu ini untuk menemaninya kalau almarhum tahu beliau akan wafat
hari itu. Eyang-eyangku sayang, aku pasti jadi dokter seperti doa kalian, amin.
Guru ngajiku pernah
mengajak merenung, mana yang lebih baik tahu kapan mati atau tidak tahu? Aku
berpikir sejenak, ku rasa jawabannya adalah tidak tahu. Kenapa? Karena dengan
tidak tahu jadwal tapi yakin akan kepastiaanya tentunya orang akan
berhati-hati. Mempersiapkan diri sebisanya supaya tidak menyesal setelahnya. Sementara
jika kita sudah tahu jadwal ajal menjemput hanya ada 2 kemungkinan : pertama,
menjadi paranoid sendiri dan hanya beribadah hingga melupakan urusan dunia atau
kedua, menjadi terlalu efektif memanfaatkan sisa umur untuk bersenang-senang
menghabiskan sisa umur. Mengutip salah satu iklan di TV “faktor resiko memang diturunkan tapi manisnya hidup kita yang
tentukan.”
Kita memang diturunkan
ke bumi dengan resiko dimatikan kapan saja tapi indahnya hidup dengan
keberkahanNya itu tergantung usaha kita. Aku bukan orang alim, bahkan ibadah ku
kadang terlalaikan. Tapi aku sungguh tak bisa menerima gagasan untuk 100%
memisahkan agama dan hidup. Karena kita hidup tentunya karena kita diciptakan
dan pencipta kita kenal melalui agama.
Aku bisa memahami
keputusan untuk memberi si kakek terapi paliatif saja. Usia beliau sudah sangat
tua dan kondisi ekonomi keluarga yang mungkin tidak mampu untuk membawanya
berobat lebih lanjut. Namun aku salut pada anak-anak beliau yang menunjukkan
baktinya dengan membawa beliau berobat yang mungkin hanya untuk membuat si
kakek merasa disayangi melalui usaha anak-anak beliau untuk mengobatkannya.
Rasa berdosa langsung menghujamku. Mengingat betapa sering aku mengecewakan
orang tuaku. Kadang aku bahkan tak menjawab telpon ibu saat suntuk dengan
laporan. Padahal beliau hendak memberi kabar bahwa lagi-lagi beliau kena
serangan asma. Kadang dengan cueknya aku menjawab telpon ayah dan menjawab
pertanyaan pria baik hati ini dengan ketus karena rasa ngantuk. Padahal beliau
cuma ingin menanyakan tentang sakit pinggangnya akibat kerja berat di tambang
demi hidup dan sekolahku. Aku mengetik ini dengan tetesan air mata. Air mata
bersalah. Ayah, ibu, maafkan aku....
Kembali pada cerita si
kakek, aku bukannya bermaksud kejam tapi mengingat usia dan keadaan beliau
sepertinya satu-satunya yang bisa beliau lakukan adalah berdoa. Tapi bagaimana
jika hal ini terjadi pada anak-anak atau orang yang lebih muda? Mereka yang
akhirnya tak terselamatkan akibat ketidakadaan biaya? Mati sia-sia menurutku.
Negeri ini memang hebat, saat pejabatnya menikmati rumah, mobil, dan perjalanan
mewah, di saat yang sama seorang pemuda dikafani akibat kanker darah yang
membunuhnya. Lagi-lagi pemuda itu terlambat berobat karena tak ada uang. Di
saat para pejabat itu tengah makan siang mewah setelah rapat yang lagi-lagi
dengan uang negara, di dataran lain di pulau jawa, seorang balita wafat akibat
busung lapar seperti yang aku kutip dari pengalaman dr.Abdul Mughni Rozy dalam
buku Blue Surgeon. Aku sadar cuma
bisa mengkritik, toh, kalau tiba-tiba diangkat jadi presiden mendadak pun aku
tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa berdoa, semoga ada pemimpin yang
jatuh dari langit dan dilahirkan di negeri ku ini untuk memimpin kami
menyelesaikan semua petaka ini.
Terlepas dari semua
perenungan hidup dan mati serta kesenjangan ekonomi, aku tetap bersyukur atas
hidupku. Saat ini aku masih bisa berbagi pemikiran disaat ada remaja yang
bahkan untuk bergerak saja tidak bisa. Aku punya keluarga lengkap dan bahagia.
Aku masih bisa menikmati penampilan Super
Junior di laptop ku. Sesuatu yang tidak penting tapi menunjukkan betapa
sempurna fungsi indera yang Tuhan anugerahkan yakni pendengaran, penglihatan,
dan perasaan. Dengan kesempurnaan ini tentunya Tuhan ingin aku melakukan
sesuatu. Tak bijak rasanya menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Aku ingin jadi
orang yang bermanfaat bukan dimanfaatkan. Sekarang yang ku bisa hanya belajar
dan mempersiapkan diri agar kelak bisa jadi tenaga profesional yang menjalani
hidup bahagia dan mungkin membantu orang lain untuk memperpanjang kebahagiaan
dan hidup mereka. Teringat salah satu judul lagu Super Junior “It’s U” bagiku maknanya adalah “It’s you who decide the way you live.”
Komentar
Posting Komentar