USIA MELAWAN DEWASA (Nama gadis kecil itu Ayu)
USIA MELAWAN DEWASA
(Nama gadis kecil itu Ayu)
Saat pimpinanku menetapkan akulah tenaga medis yang
menjadi bagian dari tim gizi aku sungguh tidak nyaman. Ayolah, visiku menjadi
seorang dokter adalah menangani kasus kegawatdaruratan, berlarian di IGD,
menegakkan diagnosa, dan memastikan seseorang tetap bernapas. Bukan pergi dari
satu rumah ke rumah lain, mendengarkan tangisan anak-anak, dan merubah sesuatu
yang terlalu membatu seperti pikiran kolot orang tua balita-balita itu.
Tapi mau bagaimana lagi,masalah gizi adalah masalah inti dari buruknya suatu generasi. Jika tidak tertangani maka hancurlah masa depan negeri ini. Sebagai informasi berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan 17,7% bayiusia di bawah 5 tahun (balita) masih mengalami masalahgizi. Angka tersebut terdiri atas balita yang mengalami gizi buruk sebesar 3,9% dan yang menderita gizi kurang sebesar 13,8%.
Dan bukankah hidup penuh kejutan? Kejutan dan pelajaran
yang sudah didesain Tuhan sedemikian rupa. Rupanya Tuhan sedang ingin
memperlihatkan betapa hidupku adalah hidup yang harus disyukuri.
Jujur,aku pun dalam masa dimana aku banyak mengeluhkan
hal-hal yang terjadi dalam hidupku. Mulai dari karir, pekerjaan, finansial,
hingga suasana hati. Tuhan begitu sayang padaku rupanya. Dia ingin aku melihat
dunia dengan lebih bijak melalui balita-balita yang telah terdata menderita
gizi kurang dan buruk. Setiap balita yang ku kunjungi memberiku sudut pandang
baru dan salah satunya, gadis kecil bernama Ayu.
Siang itu aku dan tim tiba di sebuah gang yang bahkan tidak pernah ku tahu keberadaannya. Baiklah ini tidak akan seburuk yang ku pikirkan, batinku. Tiga anak kecil keluar dari balik sebuah rumah mendatangi kami, tampak tertarik melihat orang-orang berseragam membawa tas besar (Length Board), kardus (berisi biskuit dan obat-obatan), serta memakai masker seperti di sinetron-sinetron yang mereka tonton. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Apa mereka berpikir kami sedang berburu corona? Imunisasi keliling? Atau sunatan massal? Yang pasti mereka tampak ramah, malu-malu, tapi tetap tertawa-tawa kecil.
Perlahan ku ikuti bidan desa yang menunjukkan jalan menuju rumah pasien gizi buruk kami. Aku sempat terkejut, ternyata kami harus melewati halaman belakang rumah tempat kami memarkir ambulans, melewati tanah basah, menyusuri saluran parit sebelum akhirnya menemukan rumah.
Sempat terpikir
olehku, kemana orang tua anak-anak ini? Dimasa predator anak berkeliaran
dimana-mana tidakkah sebaiknya mereka diawasi. Ah, sudahlah pikirku, semoga
Tuhan melindungi. Dari sekelompok anak itu yang menarik perhatianku adalah
seorang gadis kecil berkoas kuning yang tampaknya adalah anak tertua diantara
yang lain. Dia nampak memimpin yang lain menyusuri jalan-jalan kecil,
mengingatkan untuk berhati-hati, dan menanyakan, “mencari rumah siapa?”. Kami
menyebutkan nama Zahra (read: bukan nama sebenarnya), balita yang masuk ke data
kami. Dengan telaten dia menunjukkan arah yang tepat. Tiga menit berjalan
kaki,tibalah kami disebuh rumah kayu yang tampak tua dan rapuh. Bentuknya
seperti rumah panggung dengan tangga yang tinggi dari pemukaan tanah dan tampak
sekali lagi, sudah tua. Perlu usaha ekstra untuk masuk ke dalam rumah. Aku
bahkan meminta salah satu bidan yang sedang hamil untuk tidak ikut kami naik,
terlalu berbahaya.
Si gadis kecil berkaos kuning lantas menggendong salah satu balita yang tadi ikut dengan rombongan. Mereka menaiki tangga menuju rumah. “Yang mana rumahnya Zahra?” tanyaku. “ini pang rumahnya. (Yang ini rumahnya)” Jawab si anak. “Zahranya yang mana?” kembali aku bertanya. “Ini pang.(yang ini)” Sahutnya sambil sedikit mengangkat balita yang digendong. Oh Tuhan, kenapa dia tidak bicara dari awal batinku. “Mama lawan abah dimana? (Mama dan Papa dimana?)” tanyaku. “Begawi, ada ai Aan di dalam. (Bekerja, tapi ada si Aan)” Kata si gadis kecil. Interview singkat dengan gadis ini membuatku terenyuh. Dia adalah orang yang bertanggung jawab mengasuh dan mengawasi adik terkecilnya selama orang tuanya bekerja. Sang ayah adalah pendulang yang bekerja di sebuah desa kecil di kecamatan sebelah. Sementara sang ibu adalah asisten yang bekerja di sebuah catering. Akhirnya aku tau nama gadis itu, Ayu, nama yang sesuai dengan hatinya.
Di rumah itu ada tujuh orang : ayah, ibu, dan kelima anaknya. Rumah itu ternyata adalah ruangan persegi panjang dan sekat yang ada hanya sebuah tirai kelambu usang sebagai penanda bahwa bagian terdalam rumah adalah ruang tidur. Lantai yang kami duduki hanya 20 persen yang tertupi karpet plastik dengan tepi compang-camping. Lantai yang tidak tertutup karpet berwarna hitam dengan permukaan berminyak. Aku sempat khawatir akan ada noda yang menempel di celana yang ku gunakan. Tidak tampak adanya peralatan sekolah karena dari yang aku tangkap atas cerita Ayu, mereka semua sudah tidak bersekolah. Melihat isi dalam rumah ini aku terhenyak. Ya Tuhan, betapa tidak bersyukurnya aku atas rumah yang kini ku tempati. Jaraknya lumayan panjang dari pintu depan ke pintu belakang membuatku sering mengeluh saat menyapu atau mengepel. Tapi lihatlah mereka, aku bahkan tidak bisa membayangkan mereka harus berbagi ruang sekecil itu. Tidak ada ruang untuk hal bernama privasi.
Rumah mereka jauh dari kata sehat tapi jika saat itu juga aku menanyakan pada Ayu apakah dia bahagia maka aku yakin dia akan menjawab iya. Karena rumah bukan sekedar bangunan berdinding dengan atap yang melindungi penghuninya dari hujan dan panas tapi juga tempat untuk kembali. Kadang kala bukan seberapa besar rumah itu yang menjadi perhatian tapi seberapa nyaman suasana yang dapat diberikan olehnya. Suasana yang dibangun oleh komponen fisik dan orang-orang di dalamnya. Maka hari ini Ayu mengingatkanku untuk bersyukur atas tempat yang selalu ku sebut rumah. Sebuah bangunan yang melindungi dihiasi senyum orang tua dan adik-adikku.
Zahra sedikit menangis saat kami melakukan pemeriksaan tinggi badan, berat badan, dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui apakah ada faktor penyulit yang mungkin menghambat program perbaikan status gizinya. Tapi dengan sabar, Ayu sang kakak menenangkannya. Membujukknya dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Aku terenyuh bagaimana anak semuda Ayu harus menjadi dewasa untuk menjaga adiknya dengan pengawasan minim dari orang tuanya. Aku harap Zahra akan selalu mengingat kebaikan kakaknya hingga dewasa kelak. Kadang kita lupa akan jasa-jasa orang yang berada di sekitar kita, tetapi selalu mengingat keburukan bahkan yang sangat kecil dilakukan untuk kita. Jangankan rekan, kebaikan saudara sendiri mungkin kita juga lupa. Ayu mengajarkanku bahwa dewasa bukan perkara usia.
Aku adalah manusia yang selalu mengeluhkan tugas-tugas yang diberikan kepadaku bahkan disaat aku memiliki kesempatan untuk menolak. Tapi Ayu bahkan memikul tanggung jawab yang entah bagaimana menjadi miliknya secara serta merta. Aku yang selalu merasa terkekang dengan semua perhatian orang tua bahkan di usia ku yang dikategorikan matang. Ayu bahkan menjalani harinya tanpa pengawasan orang tua di usia yang harusnya berada dalam pengawasan ketat. Aku yang sering mengomentari rezeki makanan entah karena rasanya, jenisnya yang tidak sesuai hati, atau hal-hal konyol lainnya. Tapi Ayu, matanya berbinar saat kami mengeluarkan biskuit makanan tambahan untuk Zahra. Entah apakah Ayu berpikir untuk membaginya atau dia senang adik kecilnya mendapatkan cemilan.
Ayu, aku sangat berterima kasih atas semua contoh dan renungan yang Ayu berikan hari ini. Tentang tetap menjadi ceria bahkan ketika lingkungan tidak mendukung, menjadi bertanggung jawab di usia yang begitu muda, menjaga orang yang begitu berharga di sekeliling kita, dan tentunya melalui hari dengan senyum. Seperti senyum Ayu pertama melihat kami.
Catatan : Nama pasien sebenarnya dalam kisah ini disamarkan untuk menjaga privasi. Zahra masih tetap dalam pengawasan kami.
Komentar
Posting Komentar