ASTHMA ET CAUSA CINTA
ASTHMA ET CAUSA CINTA
“Ini
ada pasien asma satu, nih.” Seru ibu Meta. Ibu perawat yang satu ini tak pernah
lupa mengingatkanku jika ada pasien yang didiagnosa penyakit asma sedang
mengembalikan statusnya setelah menjalani pemeriksaan. Senang hatiku rasanya
mendapatkan tambahan subjek penelitian lagi. Status sebagai mahasiswi FK yang
tengah dituntut mengerjakan KTI, mau tak mau membuatku mendekam di Poliklinik
Paru RSUD ini.
“Iya
bu, yang mana pasiennya?” tanyaku sumringah.
“Itu
tuh ibu yang pakai kacamata, orangnya tinggi.” Sahut bu Meta sambil menunjuk
wanita yang dimaksud sedang duduk di bangku pasien menunggu resep obat yang
harus dicap sana-sini untuk melegalkannya sebagai resep bagi pemegang ASKES.
Dengan
tenang ku datangi ibu yang bersangkutan setelah memeriksa nama dan riwayat
penyakit beliau di lembaran status. Sekedar memastikan beliau tidak pernah
mengalami TBC atau penyakit lain yang mengganggu paru selain asma. Betapa
senangnya aku setelah memastikan si ibu masuk kriteria inklusiku.
“Maaf,
bu. Permisi, perkenalkan saya Ani. Saya mahasiswi kedokteran yang sedang
melakukan penelitian tentang asma. Kebetulan saya lihat di rekam medik ibu, ibu
didiagnosa menderita asma. Ibu bersedia tidak menjadi responden saya. Saya
hanya ingin menanyakan beberapa hal tentang asma ibu, dan juga mengukur tinggi
badan ibu, boleh?” aku bertanya denga sesopan mungkin pada si ibu.
“Oh,
boleh aja, mbak.” Dia menjawab disertai senyum ramah.
“Oh,
kalau begitu mari, bu ikut saya untuk mengukur tinggi badan.”
Si
ibu pun akhirnya menjalani pengukuran tinggi badan olehku dan sedikit tanya
jawab untuk mengisi kuisioner ACT (Asthma Control Test) untuk mengetahui
keadaan asmanya. Hasilnya, asma beliau terkontrol sebagian, artinya masih ada
kemungkinan cukup besar untuk serangan mendadak.
Sejenak
mataku memperhatikan ibu ini. Tinggi beliau yang mencapai 158 cm ditambah
sandalnya ber-heel-nya membuat si ibu
terlihat cukup tinggi. Tubuhnya bisa dibilang kurus. Rambut sebahu bergelombang
dibiarkan terurai. Ditambah kacamata berbingkai cokelat tipis yang beliau
pakai, si ibu tampak anggun dan berwibawa.
Aku
ingat saat menanyakan salah satu poin kuisionerku, “Ibu, asmanya sering
kambuh?”
Dengan
diiringi senyum tipis beliau menjawab “Nggak terlalu, mbak. Soalnya saya rutin
pakai obat harian dari dokternya.”
“Memangnya
ibu sudah lama ya kena asma?”
“Sebenarnya
mbak, saya kena asma dari SMA. Saya ingat betul nggak enaknya kalau lagi
kambuh. Ditengah-tengah pelajaran saya tahu-tahu sesak napas. Bener-bener kaya
orang mau mati.” katanya sambil menatap jauh melewatiku, seolah-olah mengingat
masa lalu.
“Tapi,
setelah melahirkan anak pertama, asma saya hilang begitu aja, mbak. Sangking
senengnya mungkin. Punya anak sehat, punya suami yang baik. Mukjizat sekali
rasanya asma saya bisa hilang begitu saja selama 27 tahun. Nggak perlu takut
kambuh malam-malam.”
Tanpa
sadar aku ikut tersenyum melihat si ibu bercerita panjang lebar tentang asmanya
yang hilang secara ajaib. Hebat sekali rupanya kekuatan kebahagiaan itu.
Andaikan semua orang bahagia, bisa jadi poliklinik paru akan sepi dari pasien
asma. Semoga hal ini terwujud, tapi setelah KTI ku selesai agar aku bisa dapat
banyak responden. Kadang-kadang kita mesti egois jika ingin sukses.
“Wah,
sepertinya rasa bahagia ibu sukses menghilangkan asma ya, bu. Memang beberapa
teori menyebutkan emosi dapat mempengaruhi keadaan pasien asma.”
“Iya,
mbak. Saya juga pernah baca artikel seperti itu. Sayangnya nggak ada orang jual
inhaler bahagiain, yang ada cuma ventolin.”
Aku
tertawa bersama si ibu. Sudah ku duga ibu ini cukup tahu dengan penyakitnya.
Dari wawancara sebelumnya, beliau mengaku S1 dari fakultas ekonomi.
“Terus
sekarang kok, kambuh lagi, bu?”
Perlahan
wajah si ibu terlihat sedih, “Karena kebahagiaanya pergi separo, mbak.”
Aku
agak bingung dengan kata-kata si ibu, “pergi kemana, bu?”
“Ke
surga, mbak. Kebahagiaan saya ikut suami saya ke surga. Sekarang yang tersisa
Cuma kangen aja. Anak sudah besar-besar semua, jadi tinggalnya misah-misah.
Kangennya yang bikin saya nyesek.
Nah, nyesek-nya itu yang sama dokter
di sebut asma.”
Bagai
tersiram air panas rasanya. Rasa terkejut dan bersalah menyerbuku. Ku pandang
wajah si ibu dan benar saja, raut sedih dan masam yang terpampang disana.
“Maaf,
bu. Saya nggak bermaksud...”
“Oh,
nggak apa-apa, mbak. Saya sudah ikhlas. Namanya juga takdir. Setidaknya kami
sudah sukses membesarkan anak-anak. Mudah-mudahan almarhum tenang.” Si ibu
tampaknya memahami rasa bersalahku.
“Maaf,
sekali lagi, bu. Beliau meninggal sudah lama?” aku dan segala rasa penasaranku
tampaknya mengalahkan aku dan segala kesungkananku.
“Ya,
kurang lebih 6 bulan, mbak. Almarhum kena serangan jantung. Setelah itulah asma
saya jadi sering kambuh. Karena kangen mungkin ya, mbak?”
“Emmm...mungkin
begitu, bu. Tapi kalau rajin berobat dan kontrol pasti bisa dikendalikan, bu.”
gugup rasanya ditodong pertanyaan seperti ini.
“Iya,
mbak. Lagian kangennya paling cuma sebentar,kan. Kapan saja kalau Tuhan mau,
saya pasti akan menyusul suami saya. Tinggal tunggu waktu saja.”
Ya
Tuhan, kagum aku pada si ibu. Beliau bicara tentang perpisahan, cinta, dan maut
dengan demikian tenangnya. Senyum beliau tampaknya menunjukkan ketegaran dan
kebijaksanaan. Beruntung almarhum suami beliau didampingi wanita yang tampaknya
benar-benar mencintainya.
“Ibu,
ini resepnya. Ini dibawa lagi buat dilegalisir di ASKES ya, bu.” suara mendayu
bu Meta menghentikan percakapan kami.
“Oh,
iya, bu. Terima kasih, ya.” ujar si ibu sambil menerima kertas-kertas resep dan
jaminannya.
Aku
langsung berdiri dan mengantar si ibu keluar. Ku jabat tanggannya, “Terima
kasih banyak ya, bu.”
“Sama-sama
mbak. Semoga sukses penelitiannya.”
Setelah
menjabat tanganku, beliau pergi dengan senyum manisnya.
Sepeninggalan
si ibu aku duduk di kursi tempatku biasa berjaga sambil membantu merapikan
status pasien. Aku mulai merenungkan si ibu tadi dan pengalaman hidupnya.
Bagaimana rasa kehilangan seseorang yang amat dicintai membuat beliau merasakan
kembali sakit yang telah lama hilang.
Cinta,
kenapa hal yang satu ini sungguh ajaib. Sesaat dia bisa membawa kebahagiaan dan
menjadi penyembuh tapi sekejap ia membawa airmata dan sengsara. Aku mungkin
masih terlalu muda dan lugu untuk memahaminya. Mungkin juga jika dianalisis
dengan SPSS rasa kehilangan dan tingkat kontrol asma tidak berhubungan. Tapi
aku percaya bahwa rasa cinta si ibu pada almarhum suaminya lah yang membuat
beliau merasakan bahagia dan sakit.
Aku
jadi teringat kutipan dari buku The
Survivors Club karya Ben Sherwood. Kutipan
itu berbunyi :
Kita
tidak akan bertahan dalam:
3 detik tanpa harapan
3 menit tanpa udara
3 jam tanpa perlindungan dalam
keadaan ekstrim
3 hari tanpa air
3 minggu tanpa makanan
3 bulan tanpa cinta dan teman
Sedemikian
penting cinta hingga ia bisa mempengaruhi keberlangsungan hidup seorang anak
adam. Aku memang belum pernah merasakan cinta pada pasangan seperti ibu itu.
Bahkan aku sudah menjomblo lebih dari 20 tahun. Tapi aku tahu dengan pasti
betapa beratnya berpisah dari orang yang kita cintai baik karena jarak,
penghianatan, agama, dan sebagainya.
Tapi
aku percaya bahwa saat kita kehilangan satu cinta, kita masih punya kesempatan
untuk mencari sumber cinta lainnya. Si ibu yang kehilangan cinta suaminya masih
memiliki cinta dari anak-anaknya dan keyakinan untuk berkumpul lagi dengan sang
suami di surga. Aku yang selama ini menjomblo juga masih tetap bisa bertahan
dengan cinta dari orang tua, saudara, dan teman-teman. Jika demikian, mengapa
tidak kita coba untuk berbagi cinta pada anak yatim-piatu yang kehilangan cinta
orang tuanya, pada para pengungsi yang kehilangan cinta akan kampung halamannya,
pada fakir-miskin yang tak mendapatkan cinta dalam bentu sedekah dari si kaya,
atau pada korban perang yang kehilangan banyak orang tercinta karena tewas
akibat ledakan bom, baku tembak, dan serbuan rudal.
Ah,
semakin dipikir, semakin luas dan complicated
yang namanya cinta itu. Mungkin Tuhan belum menampakkan jodoh karena aku belum
bisa memahaminya 100%, karena Tuhan menilai aku belum bisa menahan rasa sakit
yang mungkin ditimbulkannya, atau karena Tuhan ingin aku konsentrasi belajar
agar bisa berbagi cinta dan mengabdi dengan keilmuanku. Entahlah, yang pasti
aku percaya bahwa Tuhan telah mengatur hidupku sedemikian rupa agar aku dapat
mencintai dan dicintai.
Komentar
Posting Komentar